Sabtu, 05 Januari 2013
mitos merapi
Bagi pembaca yang sempat mengunjungi daerah Sleman dan Klaten, tentu juga KotaYogyakarta, mestinya menemukan semua rumah kuna selalu menghadap ke selatanwalaupun di sebelah utara rumah itu terdapat jalan. Satu-satunya rumah yang menghadapke utara adalah Kraton Yogyakarta. Mengapa?Menurut kepercayaan masyarakat kala itu, tidak baik rumah menghadap ke utara. Karena,arah itu berarti menghadap gunung Merapi. Itu berarti berani [baca: menantang] terhadap‘penguasa’ Merapi.Dalam konteks kebudayaan Jawa [baca: Yogyakarta] dipercaya ada lima ‘penguasa’tanah Jawa. Penguasa mistis di sebelah utara berada di gunung Merapi, di sebelah timur di gunung Lawu, di sebelah selatan di samudera Indonesia, dan di sebelah barat adaTawangsari-khayangan Dlepih. Sedangkan penguasa yang di tengah berada di KratonYogyakarta Hadiningrat.Kanjeng Ratu sekar Kedaton bersama patihnya-Kyai Sapu Jagad menguasai GunugMerapi. Kanjeng Sunan Lawu menguasai gunung Lawu. Kanjeng Ratu Kidul menguasaiSamudera Indonesia [laut selatan]. Sang Hyang Pramoni menguasai Khayangan Dlepih.Sedangkan penguasa Kraton Yogyakarta tentu saja Sultam Hamengku Buwono. Kelima penguasa ini menyatu secara harmonis baik dalam mikro maupun makrokosmos.Antara gunung Merapi dan Laut Selatan dihubungkan oleh sungai Opak yang di bagianhulunya bernama sungai Gendol. Dipercaya bahwa kali Opak ini merupakan ‘jalan bebashambatan’ untuk para penguasa baik gunung Merapi maupun Laut Selatan yang sedangmengunjungi satu sama lain.Kata ‘opak’ juga memiliki cerita sendiri. Konon, pada suatu waktu ada seekor ular,Ontoboga namanya, mencari sang ayah menyusuri sebuah sungai yang menghubungkanLaut Selatan dengan gunung Merapi. Selama perjalanan itu, ia berteriak “O, Pak. O, Pak” berulang kali. Orang yang tinggal di pinggir sungai itu lalu menyebutnya sebagai sungaiOpak.Ontoboga berhasil menemui sang ayah, Kyai Sapu Jagad. Ia diakui sebagai anaknya dandiberitugas menyangga gunung Merapi dengan cara melingkarkan badannya di kakigunung. Jika ular Ontoboga menggeliat atau menggerakkan ekornya karena penat akanmenghasilkan gempa bumi.Letusan gunung Merapi dipahami sebagai tanda puncak perjumpaan asmara antara penguasa gunung Merapi dengan penguasa Laut Selatan. Letusan merupakan perwujudandari lepasnya air mani yang mencari sel telur untuk dibuahi. Peristiwa ini akan berulangsecara periodic, antara dua hingga tujuh tahun. Masyarakat gunung Merapi meyakini bahwa peristiwa seperti itu tidak dilakukan diam-diam. Tetapi, sebaliknya akan didahului dengan isyarat-isyarat tertentu yang disampaikan baik kepada orang-orang tertentu, seperti almarhum mbah Marijan maupun kepadakhalayak umum.Misalnya, kepada orang-orang tertentu, jika sudah ‘dekat waktunya’ akan diperlihatkanharimau putih yang lewat di desa-desa sekitar gunung Merapi.
Kepada masyarakat umumdimunculkan awan ‘Petruk’. Petruk merupakan salah satu tokoh wayang dalam kelompok punakawan [pengasuh] para ksatria. Ia dikenal jujur dan terbuka. Karena itu, ia seringmenjadi ‘juru bicara’ para ksatria yang diasuhnya. Jika di atas gunung Merapi sudahmuncul awan Petruk maka letusan sudah dekat.Masyarakat gunung Merapi juga percaya bahwa ‘wedus gembel’, lahar panas dan lahar dingin itu ada yang ‘membawa’ melalui jalan-jalan tertentu. Jika menyimpang dari jalan- jalan yang sudah tertentu itu berarti penguasa gunung Merapi sedang memerlukantambahan ‘pasukan’. Tambahan pasukan ini diambil dari satu atau beberapa penduduk gunung Merapi. Karena itu, mereka yang menjadi korban letusan dipahami sebagai‘ dikersakaké ’ Baureksa Merapi, sebuah kehormatan.Peran raja Mataram dalam peristiwa letusan gunung Merapi juga tidak kecil. Jika NgersaDalem berkenan, dengan melewati sungai-sungai yang sering dilalui lahar gunungMerapi maka lahar tidak akan mengalir ke sebelah hilir dari tempat yang dilewati Sultantersebut. Sebagai contoh, pada tahun 1968, Sultan hamengku Buwono IX melintas disungai Boyong. Dampaknya, lahar dingin tidak mengalir sepanjang sungai itu yang dikota Yogyakarta disebut kali Code.Hubungan antara masyarakat dan gunung Merapi juga terasa inten. Masyarakat danMerapi sudah menyatu. Ketika lingkungan dirusak, gunung Merapi ‘marah’. Tetapikemarahan tersebut tidak selama-lamanya. Setelah reda, bumi menjadi semakin subur.Masyarakat banyak ‘diberi’ rejeki, pasir dan tettumbuhan hijau subur.Karena itu, pemikiran untuk merelokasi masyarakat gunung Merapi tidak mudah. Apalagi jika relokasi itu bersifat ‘bedol desa’-memindahkan seluruh warga beserta perangkatnyake tempat lain. Relokasi hanya dapat dilakukan secara parsial dan hanya ‘pindah’ lokasidi sekitarnya tempat tinggalnya saja. Misal, masih dalam satu desa.Inilah sejumlah mitos yang hingga saat ini masih beredar kuat di sebagian masyarakatsekitar gunung Merapi. Karena itu, penangan pengungsi letusan gunung Merapi sekarangini tidak cukup hanya dengan pendekatan teknis-logis. Pendekatan kebudayaan sangatdiperlukan. Semoga!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar